Sabtu, 15 September 2012

Sebuah Cerita

Aku terduduk di atas kasur, sambil menatap tajam benda yang kupegang erat ini. Pisau bergagang kayu warna hitam yang baru saja ku ambil dari dapur. Pandangan mataku kosong, tetapi tidak dengan pikiranku. Aku benci. Aku benci mereka yang sok tau. Aku benci mereka yang mengatur-atur hidupku. Toh ini hidupku, dan aku tau apa yang aku inginkan

‘ayo lakukan’ suara-suara itu terus berkecamuk dalam pikiranku.

Teringat beberapa waktu silam, saat orang tuaku meminta aku untuk bersekolah di tempat yang dipilihnya, padahal saat itu aku sudah memilih tempat yang benar-benar kuinginkan. Sungguh pada saat itu aku ingin menolak, tapi apalah daya, aku hanyalah seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tua. Pada akhirnya aku memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuaku. Sebulan, dua bulan, hingga hampir setahun aku lalui, tetap saja aku merasa tidak kerasan di tempat itu. Bukan karena tempat itu menyiksaku. Bukan itu. Tapi perasaan yang ku pendam ini yang sangat menyiksaku. Rasa ketidak inginan yang begitu besar yang terus menghantui pikiranku

‘ayo cepat lakukan, apa yang kau tunggu’ suara itu terdengar lagi.

Pernah suatu ketika kuceritakan semua uneg-uneg yang ada di pikiranku. Ku tumpahkan semua rasa kesal dan amarah yang terus berkecamuk dalam benakku. Air mata yang mengalir deras seolah mengisyaratkan betapa beratnya hari yang harus kulalui. Tapi sekali lagi, aku hanyalah seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tua. Kuterima saja nasihat-nasihat yang sebenarnya sama sekali tak kuhiraukan. Bagaimanapun, aku tak ingin menjadi anak yang durhaka kepada orang tua

Namun, kini aku sudah tidak tahan lagi. Waktu-waktu yang kulalui selama ini bagai terbuang dengan percuma. Aku merasa sangat menyesal. Kebahagiaan dalam hatiku pun lenyap bak matahari ditelan senja, bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kalinya aku benar-benar tersenyum.

Perlahan tapi pasti, kugoreskan pisau tersebut pada pergelangan tangan kiriku. Darah mengalir deras namun perlahan melewati setiap jengkal jari tangan kiriku. Aku menikmati setiap tetesan cairan merah kental tersebut, hingga cairan tersebut membasahi kasur yang kududuki. Aku tertawa di dalam tangis. Atau menangis di dalam tertawa? Aku pun tak tahu.

Kemuadian semuanya melayang bagaikan di terjang badai. Sekujur tubuhku pun mulai dingin. Mataku pun berkunang-kunang dan lalu semuanya menjadi gelap. Gelap segelap-gelapnya gelap. Tak ada lagi rasa sesal, tak ada pula amarah, semuanya tenang. Namun, aku pun tidak merasakan kebahagiaan.

Tiba-tiba saja aku terbangun. Dan ternyata, aku baru saja menyelesaikan sebuah cerita.

0 comment:

Posting Komentar