Menurut
saya, setiap manusia hidup di dunia yang berbeda-beda. Duniaku adalah duniaku,
duniamu adalah duniamu, dan dunia mereka adalah dunia mereka. Walaupun kita
masih menjajaki tanah yang sama dan beratap langit yang sama.
Lalu,
seperti apakah dunia saya? Yup, dunia saya adalah dunia yang saya buat sendiri
dalam imajinasi saya. Saya mengakui saya memang sering berkhayal, berkhayal tak
tentu arah , bisa terjadi secara mendadak dimana saja dan kapan saja. Terkadang
ketika saya sedang bekerja pun saya secara tiba-tiba terjerembab dalam dunia
khayalan saya, melewati batas horizontal titik fokus saya. Saya tidak mengerti
ini merupakan sebuah kelainan psikologis atau bukan, tetapi saya berusaha
nyaman dengan keadaan ini. Dan yang pasti, dunia inilah yang menginspirasi
saya. Terkadang orang-orang berpikir bahwa saya terlalu banyak mimpi dan
berkhayal. Biarkan saja, toh semuanya berawal dari mimpi kan ya? Mimpi ditambah
usaha ditambah do’a ditambah segala macam yang berbau positif sama dengan
SUKSES! Aamiiin..
Kalau
melihat dunia secara ‘global’, mungkin bisa tercerminkan di layar televisi. Loh?
Itukan Negara Indonesia? Bukan dunia. Biarkan saja, toh kita berpijak di tanah
Indonesia, jadi dunianya kita, ya dunia Indonesia.
Kalau
lihat di televisi akhir-akhir ini, bukan suatu hal yang aneh kalau kita melihat
banyak bertebaran iklan partai politik yang sibuk menyuarakan sebagian dari
sekian banyak visi-misinya melalui media audiovisual. Sah-sah saja sih, saya
sendiri tidak terlalu merasa terganggu dengan hal itu.
Kita
lihat dari sisi positifnya, kalau banyak orang-orang yang ingin menjadi bagian
dari ‘wakil rakyat’, berarti banyak orang di Negara kita ini yang hatinya
mulia. Mereka rela berkorban waktu, tenaga, dan pikirannya hanya untuk mewakili
rakyat, menyuarakan jeritan hati kita semua yang kemudian akan mereliasasikannya.
Duuuh, Indonesia memang baik sekali kan ya?
Sekitar
beberapa hari yang lalu, saya menelepon orang tua saya, entah darimana memulai
percakapan tersebut, sampai akhirnya saya bertanya, “pah, boleh ga kalau saya
jadi politikus?” kemudian papah pun menjawab, “ boleh aja, asal jangan jadi ‘tikus’nya
aja”
Tapi
tetap saja, kata politikus tidak bisa dipisahkan dari penggalan kata-nya,
poli-tikus. Tapi mudah-mudahan saja, pemikiran saya yang barusan tadi salah.
Sekian
saja tulisan kali ini. Tidak nyambung dengan judul? Biarkan saja.
0 comment:
Posting Komentar