Sabtu, 29 Maret 2014

Poli-Tikus

Menurut saya, setiap manusia hidup di dunia yang berbeda-beda. Duniaku adalah duniaku, duniamu adalah duniamu, dan dunia mereka adalah dunia mereka. Walaupun kita masih menjajaki tanah yang sama dan beratap langit yang sama.
Lalu, seperti apakah dunia saya? Yup, dunia saya adalah dunia yang saya buat sendiri dalam imajinasi saya. Saya mengakui saya memang sering berkhayal, berkhayal tak tentu arah , bisa terjadi secara mendadak dimana saja dan kapan saja. Terkadang ketika saya sedang bekerja pun saya secara tiba-tiba terjerembab dalam dunia khayalan saya, melewati batas horizontal titik fokus saya. Saya tidak mengerti ini merupakan sebuah kelainan psikologis atau bukan, tetapi saya berusaha nyaman dengan keadaan ini. Dan yang pasti, dunia inilah yang menginspirasi saya. Terkadang orang-orang berpikir bahwa saya terlalu banyak mimpi dan berkhayal. Biarkan saja, toh semuanya berawal dari mimpi kan ya? Mimpi ditambah usaha ditambah do’a ditambah segala macam yang berbau positif sama dengan SUKSES! Aamiiin..
Kalau melihat dunia secara ‘global’, mungkin bisa tercerminkan di layar televisi. Loh? Itukan Negara Indonesia? Bukan dunia. Biarkan saja, toh kita berpijak di tanah Indonesia, jadi dunianya kita, ya dunia Indonesia.
Kalau lihat di televisi akhir-akhir ini, bukan suatu hal yang aneh kalau kita melihat banyak bertebaran iklan partai politik yang sibuk menyuarakan sebagian dari sekian banyak visi-misinya melalui media audiovisual. Sah-sah saja sih, saya sendiri tidak terlalu merasa terganggu dengan hal itu.
Kita lihat dari sisi positifnya, kalau banyak orang-orang yang ingin menjadi bagian dari ‘wakil rakyat’, berarti banyak orang di Negara kita ini yang hatinya mulia. Mereka rela berkorban waktu, tenaga, dan pikirannya hanya untuk mewakili rakyat, menyuarakan jeritan hati kita semua yang kemudian akan mereliasasikannya. Duuuh, Indonesia memang baik sekali kan ya?
Sekitar beberapa hari yang lalu, saya menelepon orang tua saya, entah darimana memulai percakapan tersebut, sampai akhirnya saya bertanya, “pah, boleh ga kalau saya jadi politikus?” kemudian papah pun menjawab, “ boleh aja, asal jangan jadi ‘tikus’nya aja”
Tapi tetap saja, kata politikus tidak bisa dipisahkan dari penggalan kata-nya, poli-tikus. Tapi mudah-mudahan saja, pemikiran saya yang barusan tadi salah.

Sekian saja tulisan kali ini. Tidak nyambung dengan judul? Biarkan saja.

0 comment:

Posting Komentar